PHK dan Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial

Pengantar Berbicara mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terlepas dari hak-hak, syarat-syarat, unsur-unsur yang termasuk PHK dan prosedur PHK itu sendiri, yang harus dipenuhi oleh Pengusaha ketika terjadi pengakhiran hubungan kerja. Hal tersebut jelas diatur dalam Undang-Undang. Bagi pembuat Undang-Undang sendiri dimaksudkan untuk melindungi buruh, meskipun dalam praktek masih banyak terjadi penyimpangan dan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut serta masih jauh dari perlindungan terhadap buruh.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
  • Adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha (Pasal 1 UU 13/2003).
  • Ruang lingkup PHK dalam UU 13/2003 meliputi PHK yang terjadi pada badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial maupun usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 150 UU 13/2003).
  • Pengusaha, buruh, Serikat Pekerja dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK (Pasal 151 ayat (1) UU 13/2003).
  • Dalam hal segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tidak dapat dihindari maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan Serikat Buruh atau dengan buruh apabila buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota SB (Pasal 151 ayat (2) UU 13/2003).
  • Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003), kecuali dalam hal :
    • Buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
    • Buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
    • Buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan.
    • Buruh meninggal dunia.
(Pasal 154 UU 13 Tahun 2003).
  • Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya atau pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasanya diterima buruh (Pasal 155 ayat (2) dan ayat (3) UU 13 Tahun 2003).
  • Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan (Pasal 153 UU No. 13/2003) :
    • Buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
    • Buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
    • Buruh menikah.
    • Buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.
    • Buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
    • Buruh mendirikan, menjadi anggota dan /atau menjadi pengurus Serikat Buruh, buruh melakukan kegiatan Serikat Buruh di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
    • Buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
    • Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
    • Buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit akibat hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  • Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat (1) UU 13/2003) .
  • Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut (Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003) :
    • Masa kerja 1 tahun  =  1  bulan upah.
    • Masa kerja 1 tahun/lebih tetapi kurang dari 2 tahun  =  2  bulan upah.
    • Masa kerja 2 tahun/lebih tetapi kurang dari 3 tahun  =  3  bulan upah.
    • Masa kerja 3 tahun/lebih tetapi kurang dari 4 tahun  =  4  bulan upah.
    • Masa kerja 4 tahun/lebih tetapi kurang dari 5 tahun  =  5  bulan upah.
    • Masa kerja 5 tahun/lebih tetapi kurang dari 6 tahun  =  6  bulan upah.
    • Masa kerja 6 tahun/lebih tetapi kurang dari 7 tahun  =  7  bulan upah.
    • Masa kerja 7 tahun/lebih tetapi kurang dari 8 tahun  =  8  bulan upah.
    • Masa kerja 8 tahun/lebih  =  9  bulan upah.
  • Penghitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut (Pasal 156 ayat (3) UU 13 Tahun 2003) :
    • Masa kerja 3 tahun/lebih tetapi kurang dari 6 tahun      =  2  bulan upah.
    • Masa kerja 6 tahun/lebih tetapi kurang dari 9 tahun      =  3  bulan upah.
    • Masa kerja 9 tahun/lebih tetapi kurang dari 12 tahun    =  4  bulan upah.
    • Masa kerja 12 tahun/lebih tetapi kurang dari 15 tahun  =  5  bulan upah.
    • Masa kerja 15 tahun/lebih tetapi kurang dari 18 tahun  =  6  bulan upah.
    • Masa kerja 18 tahun/lebih tetapi kurang dari 21 tahun  =  7  bulan upah.
    • Masa kerja 21 tahun/lebih tetapi kurang dari 24 tahun  =  8  bulan upah.
    • Masa kerja 24 tahun/lebih  =  10  bulan upah.
  • Uang penggantian hak meliputi (Pasal 156 ayat (4) UU 13 Tahun 2003) :
    • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
    • Biaya atau ongkos pulang untuk buruh dan keluarganya ketempat dimana buruh diterima bekerja.
    • Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15 % dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
    • Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  • Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan upah pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda terdiri dari (pasal 157 ayat (1) UU 13 tahun 2003) :
    • Upah pokok.
    • Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada buruh secara cuma-cuma, dan apabila catu harus dibayar buruh dengan subsidi maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh buruh.
  • Dalam hal penghasilan buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat (2) UU 13/2003).
  • Dalam hal buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 bulan terakhir dengan ketentuan tidak boleh kurang dari UMP/UMK (pasal 157 ayat (3) UU 13/2003).
  • Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir (Pasal 157 ayat (4) UU 13/2003).
  • Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat :
    • Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.
    • Memberikan keterangan palsu/yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.
    • Mabuk, minum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.
    • Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.
    • Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
    • Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
    • Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
    • Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.
    • Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.
    • Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dengan memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah yang besarnya serta pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama (bila tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung)  à  Pasal 158 ayat (1), ayat (3), ayat (4) UU 13/2003.
v  Mengenai pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat; pasal tersebut tidak digunakan lagi sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan SE Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005).
v  Apabila pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat (eks pasal 158 ayat 1) maka PHK dapat dilakukan setelah ada Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan apabila buruh ditahan oleh pihak yang berwajib serta buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan SE Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005).
  • Pengusaha wajib memberikan bantuan kepada keluarga buruh yang menjadi tanggungannya bila buruh diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha :
    • untuk 1 orang tanggungan = 25 % dari upah; untuk 2 orang tanggungan = 35 % dari upah; untuk 3 orang tanggungan = 45 % dari upah dan 4 orang tanggungan atau lebih = 50 % dari upah (terhitung paling lama 6 bulan sejak buruh ditahan).
    • Bila lebih dari 6 bulan atau kurang dan buruh dinyatakan bersalah, pengusaha bisa langsung melakukan PHK (berhak mendapatkan 1 kali uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak).
    • Bila sebelum 6 bulan tetapi buruh dinyatakan tidak bersalah maka harus dipekerjakan kembali.
(Pasal 160 UU 13 Tahun 2003)
  • Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB setelah buruh diberi Surat Peringatan I, II dan III secara berturut-turut (berlaku paling lama 6 bulan kecuali ditentukan lain) dengan mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 161 UU 13/2003).
  • Buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam UU 13/2003 dan ditambah dengan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB (bila tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung) à Pasal 162 UU 13 Tahun 2003.
  • Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan (pasal 163 UU 13/2003) :
    • bila buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja maka buruh berhak atas 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan dan uang penggantian hak.
    • bila pengusaha yang tidak bersedia menerima buruh di perusahaannya maka buruh berhak 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian.
  • Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan (Pasal 164 UU 13/2003) :
    • Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa, buruh berhak mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon dan uang penggantian hak.
    • Perusahaan melakukan efisiensi, buruh berhak mendapat 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
  • Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena perusahaan pailit, buruh berhak mendapat 1 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 165 UU 13/2003).
  • Bila hubungan kerja berakhir karena buruh meninggal dunia, ahli waris buruh berhak mendapatkan 2 kali ketentuan uang pesangon, 1 kali ketentuan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak (Pasal 166 UU 13/2003).
  • Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh karena memasuki usia pensiun dengan ketentuan (Pasal 167 UU 13/2003) :
    • Berhak atas uang penggantian hak jika pengusaha telah mengikutkan buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha.
    • Berhak atas uang pesangon jika iuran/premi program pensiun dibayar oleh pengusaha dan buruh (besarnya uang pesangon berpatokan pada iuran/premi yang dibayar oleh  pengusaha kecuali diatur lain).
    • Berhak atas uang pesangon sebanyak 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan jika pengusaha tidak mengikutsertakan buruh pada program pensiun.
    • Hak atas manfaat pensiun tidak menghilangkan hak buruh atas Jaminan Hari Tua yang bersifat wajib.
  • Buruh yang mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis (keterangan tertulis diserahkan paling lambat hari pertama buruh masuk kerja) dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis dapat di PHK karena dikualifikasikan mengundurkan diri; dengan mendapat uang penggantian sesuai ketentuan dan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan PKB (Pasal 168 UU 13/2003).
  • Buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga PPHI dalam hal pengusaha (Pasal 169 UU 13/2003) :
    • Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam buruh.
    • Membujuk dan/atau menyuruh buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
    • Tidak membayar upah tepat pada waktunya selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
    • Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada buruh.
    • Memerintahkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang telah diperjanjikan.
    • Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Maka buruh berhak atas :
  • Uang pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan 1 kali ketentuan dan uang penggantian hak.
  • Uang penggantian hak jika pengusaha tidak terbukti melakukan perbuatan yang dimaksudkan diatas.
  • Buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon 2 kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 2 kali ketentuan dan uang penggantian hak 1 kali ketentuan (Pasal 172 UU 13/2003).

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL /PPHI (UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI).

  • Beberapa pengertian (pasal 1) :
    • Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau SP/SB karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan.
    • Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja peraturan perusahaan atau PKB.
    • Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
    • Perselisihan PHK adalah perselisian yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
    • Perselisihan antar SP/SB adalah perselisihan antara SP/SB dengan SP/SB lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
    • Perundingan Bipartit adalah perundingan antara buruh dan SP/SB dengan Pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
    • Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
    • Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
    • Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan, diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
    • Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
  • Jenis perselisihan hubungan industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan (Pasal 2).
  • Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 123).

Penyelesaian melalui Bipartit (Pasal 3 – pasal 7) :
  • Perselisihan wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit dan harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
  • Apabila :
    • salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak tercapai kesepakatan :
  1. Maka perundingan bipartit dianggap gagal.
  2. Apabila perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya perundingan telah dilakukan.
  3. Setelah instansi yang bertanggung jawab menerima pencatatan maka instansi tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi (untuk perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antara SP/SB) atau melalui arbitrase (perselisihan kepentingan atau perselisihan antar SP/SB).
  4. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan selama dalam waktu 7 hari kerja maka instansi yang bertanggung jawab melimpahkan penyelesaian kepada mediator.
  • Dicapai kesepakatan penyelesaian maka :
  1. Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
  2. Perjanjian Bersama lalu didaftarkan kepada Pengadian Hubungan Industrial dalam Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
  3. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
  4. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Penyelesaian melalui Mediasi (pasal 8 – pasal 16) :
  • Penyelesaian perselisihan dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
  • Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
  • Dalam hal :
    • Tercapai kesepakatan maka :
  1. Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
  2. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. (Penetapan adalah suatu tindakan hukum yang berkaitan dengan perkara yang diajukan padanya sebelum hakim tersebut memeriksa dan memutus perkara pokok.)
  3. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
  • Dalam hal tidak tercapai kesepakatan maka :
  1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.
  2. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; bila tidak memberikan jawaban dianggap menolak maka  :
  • § Para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadian Negeri setempat dengan mengajukan gugatan.
  1. Bila para pihak menyetujui maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
pabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. (Penetapan adalah suatu tindakan hukum yang berkaitan dengan perkara yang diajukan padanya sebelum hakim tersebut memeriksa dan memutus perkara pokok.)
  1. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Penyelesaian melalui Konsiliasi (pasal 17 – pasal 28 )
  • Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
  • Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat buruh bekerja setelah para pihak mengajukan permintaan secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
  • Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
  • Dalam hal :
    • Tercapai kesepakatan maka :
  1. Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
  2. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
  3. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
  • Tidak tercapai kesepakatan maka :
  1. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dan dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.
  2. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak menerima anjuran tertulis.
  3. Bila tidak mengajukan pendapat dianggap menolak maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan gugatan.
  4. Bila para pihak menyetujui anjuran tertulis maka selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
  5. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
  6. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Penyelesaian melalui Arbitrase (pasal 29 – pasal 54)
  • Meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SB/SP hanya dalam satu perusahaan.
  • Penyelesaian melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan, dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase dan dibuat rangkap 3 dimana masing-masing pihak mendapatkan 1 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
  • Bila para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase maka para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan Menteri, dalam jumlah gasal sekurang-kurangnya 3 orang atau tunggal. Bila tidak setuju kedua-duanya maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
  • Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukkan arbiter (pemeriksaaan perselisihan selambat-lambatnya 3 hari kerja).
  • Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian 1 kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari kerja.
  • Penyelesaian perselisihan oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak. Bila :
    • Perdamaian tercapai maka :
  1. Arbiter/majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter/majelis arbiter dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
  2. Apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi.
  3. Bila Pemohon Eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian maka Pemohon Eksekusi dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili Pemohon untuk diteruskan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
  • Bila gagal maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
  • Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.
  • Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya.
  • Dalam persidangan, arbiter/majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu maupun memanggil seorang/lebih saksi atau saksi ahli.
  • Apabila pada hari sidang para pihak/kuasanya tidak hadir tanpa alasan yang sah walaupun telah dipanggil secara patut maka arbiter/majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukkan arbiter dan tugasnya dianggap selesai.
  • Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak/kuasanya tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut, arbiter/majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak/kuasanya.
  • Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap serta selambat-lambatnya 14 hari kerja harus sudah dilaksanakan dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
  • Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan (selambat-lambatnya 30 hari kerja).
  • Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerjasejak ditetapkannya putusan arbiter apabila putusn diduga mengandung unsur-unsur :
    • Surat/dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu.
    • Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembuhkan oleh pihak lawan.
    • Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan.
    • Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial .
    • Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  • Perselisihan Hubungan Industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial (pasal 55 dan pasal 58).
  • Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus  :
    • Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
    • Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
    • Di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK.
    • Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan.
  • Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Penyelesaian Perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial
  1. Oleh Hakim .
  • Pengajuan gugatan (pasal 81, 82,83,85,86 dan 87).
-    Gugatan diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja dengan dilampiri uraian penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
-    Gugatan oleh buruh atas PHK karena alasan telah melakukan kesalahan berat, alasan tidak dapat bekerja karena dalam proses pidana dan alasan mengundurkan diri atas kehendak buruh sendiri; dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
-    Gugatan yang melibatkan lebih dari satu Penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.
-    Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum Tergugat memberikan tanggapannya/jawabannya atas gugatan yang ditujukan kepadanya.
-    Apabila Tergugat sudah menanggapi, pencabutan gugatan oleh Penggugat akan dikabulkan apabila disetujui Tergugat.
-    Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti perselisihan PHK maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
-    SP/SB dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai Kuasa Hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
  • Pemeriksaan dengan acara biasa (pasal 89 ayat (1), 93, 94, dan 96).
- Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak Penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
-  Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya (selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal penundaan dan diberikan sebanyak-banyaknya 2 kali penundaan).
-  Apabila Penggugat atau Kuasa Hukumnya setelah dipanggil tidak datang menghadap di Pengadilan pada sidang penundaan terakhir maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi Penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
-  Apabila Tergugat atau Kuasa Hukumnya setelah dipanggil secara patut tidak datang menghadap di Pengadilan pada sidang penundaan terakhir maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri Tergugat dengan Putusan Verstek.
  • § Terhadap Putusan Verstek ini pihak Tergugat/Kuasanya dapat mengajukan Perlawanan yang dilakukan dalam tenggat waktu 14 hariterhitung sejak pemberitahuan Putusan diterima Tergugat secara pribadi.
  • § Jika Putusan tidak diberitahukan kepada Tergugat maka Perlawanan masih bisa dilakukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk melaksanakan Putusan Verstek.
  • § Eksekusi atas Putusan Verstek akan tertunda apabila Putusan tersebut brsifat serta merta.
-  Apabila dalam Persidangan Pertama atau Persidangan Kedua, nyata-nyata Pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sesuai pasal 155 UU 13/2003 maka Hakim Ketua Sidang harus sudah menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh.
-  Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela tidak juga dilaksanakan oleh Pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
-  Putusan Sela dan Penetapan tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Catatan :
Sita Jaminan adalah Sita yang diletakkan/dibebankan kepada barang-barang bergerak (misalnya: mobil) dan barang-barang tidak bergerak (misalnya: tanah) milik Pengusaha sebagai ganti pembayaran seluruh upah buruh.
Alasan peletakan sita jaminan adalah untuk menghindari usaha penggelapan atau penyingkiran aset-aset pengusaha/perusahaan dari pihak pengusaha sehingga ada pelunasan atas upah dan hak-hak lain yang biasa diterima oleh buruh.
Penetapan adalah suatu perintah dari Hakim yang menetapkan misalnya pengusaha diharuskan membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh.
Upaya hukum adalah suatu upaya/usaha dari pihak-pihak yang tidak dapat menerima suatu Putusan Hakim kepada institusi yang ada diatasnya misalnya mengajukan Banding kepada Pengadilan Tinggi atas Putusan Hakim pada Pengadilan Tingkat I (Pengadilan Negeri).
  • Pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 98 dan pasal 99).
-  Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak maka para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat (dalam waktu 7 hari kerja).
-  Apabila dikabulkan atau tidak dikabulkan maka tidak digunakan upaya hukum.
-  Apabila dikabulkan maka tenggang waktu untuk jawaban/tanggapan dan pembuktian kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak lebih dari 14 hari kerja.
Catatan :
Pembuktian adalah suatu proses dimana pihak-pihak yang berperkara saling mengajukan bukti-bukti di depan persidangan untuk menguatkan argumennya misalnya : dengan mengajukan bukti Surat dan Saksi.

  • Pengambilan Putusan oleh Majelis Hakim (pasal 109 dan 110).
-  Putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
-  Putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak diajuan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung (selambat-lambatnya 14 hari kerja).
  1. Oleh Hakim Kasasi (pasal 114 dan 115).
  • Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan PHK oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
  • Permohonan Kasasi harus sudah dilakukan dalam tenggat waktu 14 hari terhitung sejak Putusan pengadilan diberitahukan secara sah (biaya pendaftaran Kasasi tidak dikenakan kepada para pihak apabila nilai perkara kurang dari Rp 150.000.000,- dan apabila permohonan tidak dilakukan dalam tenggat waktu 14 hari sejak putusan diberitahukan berarti Putusan tersebut telah siap untuk dilaksanakan).
  • Pihak yang mengajukan Permohonan Kasasi wajib menyampaikan keberatan-keberatannya kepada Mahkamah Agung yang disusun dalam bentuk Memori Kasasi; terdiri dari : Judul, identitas para pihak, Putusan Pengadilan yang diajukan Kasasi, alasan-alasan Kasasi dan tuntutan yang dimintakan untuk diputus oleh Hakim tingkat Kasasi. Memori Kasasi ini harus sudah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak Permohonan Kasasi didaftarkan.
  • Sementara untuk menanggapi Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi; Termohon Kasasi membuat Kontra Memori Kasasi yang harus diserahkan kepada Panitera selambat-lambatnya 14 hari sejak diterimanya salinan Memori Kasasi; yang berisi bantahan terhadap dalil-dalil Memori Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi.
  • Alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan Permohonan Kasasi adalah : adanya ketidakwenangan pengadilan, kesalahan dalam penerapan hukum dan kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya Putusan yang bersangkutan (Pasal 30 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
  • Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan PHK pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Proses gugat menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial :
  1. Pendaftaran Gugatan dan pemanggilan para pihak.
  • § Surat Gugatan adalah Surat yang berisikan tuntutan Penggugat yang dimintakan untuk diputus oleh Hakim Pengadilan. Tuntutan dilakukan karena Tergugat telah melakukan tindakan yang melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap Penggugat.
  • § Agar Gugatan dapat dikabulkan maka Surat Gugatan harus disusun secara benar dan dengan bukti-bukti yang beralasan.
  • § Secara umum ada 2 syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan suatu gugatan yakni :
  1. Syarat materiil (isi gugatan) à menyangkut isi atau susunan dari Surat Gugatan yaitu:
v  Identitas para pihak yang berperkara yakni uraian tentang identitas Penggugat/Para Penggugat atau Tergugat/Para Tergugat/Turut Tergugat; terdiri dari nama lengkap, umur, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan dan alamat.
v  Duduk perkara yakni adanya alasan-alasan konkrit/nyata mengenai hubungan hukum disertai dasar dan alasan tuntutan.
b.  Syarat formil à berkaitan dengan tata cara atau proses yang harus ditempuh dalam gugat menggugat yang meliputi tata cara mengajukan Gugatan, tempat mengajukan Gugatan dan masalah kewenangan mengadili. Contoh : gugatan perselisihan hubungan industrial tidak bisa diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara melainkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Apabila proses/prosedurnya salah maka Gugatan akan ditolak sehingga Penggugat tidak bisa lagi mengajukan Gugatan terhadap obyek yang sama ke Pengadilan yang sama. Bedanya dengan Gugatan tidak bisa di terima adalah : Penggugat masih diperkenankan mengajukan Gugatan baru setelah dilakukan perbaikan terhadap Surat Gugatan.
  • § Surat Gugatan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang meliputi tempat buruh bekerja dengan disertai dengan lampiran Berita Acara Rapat penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi.
  • § Pihak-pihak yang berperkara pada Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi apabila Gugatan bernilai kurang dari Rp 150.000.000,-.
  1. Pembacaan Gugatan.
  • § Sebelum pembacaan Gugatan terlebih dahulu Majelis Hakim menganjurkan agar kedua belah pihak melakukan perdamaian. Apabila para pihak tetap pada pendiriannya untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui Majelis Hakim maka pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan dengan pembacaan Gugatan Penggugat.
  1. Penyampaian Jawaban.
  • § Setelah Gugatan dibacakan maka Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk mengajukan Jawaban terhadap Gugatan Penggugat.
  • § Jawaban merupakan bantahan-bantahan atau perlawanan-perlawanan atas hal-hal yang digugat atau yang dituduhkan terhadap Tergugat dengan mengemukakan fakta-fakta serta dasar hukum yang nyata dengan tujuan untuk meyakinkan Hakim bahwa Penggugat adalah Penggugat yang tidak benar sehingga Gugatannya harus ditolak.
  1. Putusan Sela.
  • § Putusan Sela merupakan Putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim sebelum pemeriksaan pokok perkara dilakukan, yang dijatuhkan sehubungan dengan adanya tuntutan yang sifatnya mendesak untuk segera diambil tindakan (misal : ternyata Pengusaha tidak melaksanakan ketentuan pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 yakni Pengusaha tidak mau membayar upah terhadap buruh yang sedang diskorsing). Putusan Sela ini bersifat sementara dan bisa saja berubah setelah tuntutan pokok perkara dalam Surat Gugatan diputuskan.
  • § Putusan Sela bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga, tidak dibuat secara terpisah melainkan hanya dituliskan dalam berita acara persidangan saja.
  1. Replik dan Duplik.
  • § Replik adalah sanggahan-sanggahan yang diberikan oleh Penggugat terhadap Jawaban yang disampaikan oleh Tergugat; dapat disampaikan secara lisan dan tertulis yang bertujuan untuk membantah setiap dalil/alasan yang dikemukan Tergugat dalam Jawabannya sehingga Gugatan menjadi kuat dan bisa dikabulkan.
  • § Duplik adalah sanggahan-sanggahan Tergugat terhadap Replik yang diajukan oleh Penggugat dengan tujuan untuk mematahkan atau melemahkan Replik/Gugatan Pengugat sehingga Gugatan ditolak oleh Majelis Hakim.
  • § Baik Replik dan Duplik bukanlah sesuatu yang wajib disampaikan para pihak; terserah kepada para pihak; yang wajib adalah pembuatan Gugatan dan Jawaban.
  1. Pembuktian.
  • § Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada Hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
  • § Membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil/alasan yang dikemukakan dalam satu persengketaan/perselisihan.
  • § Hal-hal yang perlu dibuktikan adalah peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian yang dianggap penting dan menentukan dalam suatu perselisihan; termasuk dalil/alasan yang tidak diakui atau dibantah oleh pihak lawan; sedangkan apabila suatu hal tersebut tidak dibantah atau sudah diakui maka tidak perlu dibuktikan.
  • § Alat bukti yang sah adalah : Surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah dan keterangan ahli.
  1. Kesimpulan.
  • § Kesimpulan atas semua proses persidangan yang telah dilaksanakan dibuat oleh para pihak setelah proses pembuktian dianggap selesai dan para pihak telah menyatakan tidak lagi menambah bukti-bukti dan keterangan-keterangan lain.
  • § Kesimpulan dibuat oleh masing-masing pihak berdasarkan sudut pandang serta kepentingannya masing-masing.
  • § Sifat dari Kesimpulan ini adalah pelengkap yakni untuk membantu Majelis Hakim dalam menilai dan memutus suatu perkara; sehingga tidak wajib dibuat oleh para pihak apabila para pihak merasa proses jawab menjawab sudah cukup. Yang wajib dalam proses gugat menggugat hanyalah gugatan, jawaban dan pembuktian.
  1. Putusan Hakim.
  • § Putusan Hakim dijatuhkan setelah proses jawab menjawab selesai serta para pihak sudah menyatakan tidak ada lagi hal-hal yang akan dikemukakan.
  • § Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh Hakim sebagai Pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan yang terbuka untuk umum dan bertujuan untuk mengakhiri/menyelesaikan suatu perkara yang dihadapkan padanya. Putusan dimaksud bukan saja yang diucapkan melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan.
  • § Bunyi suatu Putusan bisa menerima seluruh Gugatan Penggugat, menolak sebagian atau menolak seluruh gugatan Penggugat.
  • § Terhadap Putusan Hakim ini maka pihak yang merasa dirugikan diberi hak untuk melakukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI.
Pelaksanaan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial :
1. Syarat :
  • § Putusan yang dapat dieksekusi/dilaksanakan harus merupakan Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap; yang terhadap Putusan tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum lagi misalnya : Kasasi.
  • § Putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut harus mengandung suatu penghukuman; (misalnya : penghukuman untuk melaksanakan suatu Putusan, menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah, menghentikan suatu perbuatan/keadaan, membayar sejumlah uang atau melakukan suatu perbuatan tertentu); serta Putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang diperintahkan untuk memenuhi Putusan tersebut.
2. Proses :
Oleh sebab UU No. 2 Tahun 2004 belum mengatur masalah eksekusi terhadap Putusan Perselisihan Hubungan Industrial maka ketentuan yang berlaku adalah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata; sebab UU No. 2 Tahun 2004 telah menunjuk dengan tegas pemberlakuan Hukum Acara Perdata dalam penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yakni :
  1. Sebelum eksekusi dijalankan, pihak yang kalah harus memenuhi isi Putusan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Bila perintah tersebut dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi eksekusi terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial.
b.  Apabila tidak dilaksanakan maka pihak yang merasa dirugikan (pihak yang menang) dapat mengajukan Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri sebagai pihak yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk melaksanakan/menjalankan Putusan; yang memuat : identitas para pihak, amar putusan yang diminta dieksekusi, alasan mengajukan permohonan dan hal-hal yang diminta agar dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
  1. Selanjutnya dengan adanya Surat Permohonan dimaksud diatas kemudian Ketua Pengadilan mengirimkan Surat Teguran kepada pihak yang kalah supaya menghadap kepadanya untuk diberi peringatan agar memenuhi isi Putusan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 8 hari.
d.  Apabila pihak yang kalah tetap tidak mau melaksanakan isi Putusan secara sukarela; selanjutnya pihak yang menang dapat meminta Ketua Pengadilan melaksanakan Sita Eksekusi dengan menyampaikan Surat Permohonan Eksekusi; yang memuat dengan jelas : obyek-obyek (barang-barang/harta-harta milik pihak yang kalah) yang diminta diletakkan sita eksekusi, termasuk nama obyek, jenis, jumlah, alamat, identitas, nama pemilik dan spesifikasi lainnya.
  1. Pelaksanaan Lelang, yang terdiri :
    1. 1. Pengajuan Surat Permohonan Lelang.
Setelah Sita Eksekusi dijalankan, maka agar terhadap barang yang disita dapat dilaksanakan lelang, pihak Pemohon Eksekusi/pihak yang menang harus mengajukan Surat Permohonan Lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri.
2. Pengumuman Lelang.
Selanjutnya dengan adanya Surat Permohonan Lelang, Ketua Pengadilan meminta bantuan Kantor Lelang Negara yang meliputi wilayah Pengadilan tersebut untuk melaksanakan lelang. Selanjutnya Pejabat Pelaksana Lelang menentukan rencana penjualan barang yang disita. Sebelum pelaksanaan pelelangan atas barang yang disita, maka terlebih dahulu dilaksanakan pengumuman lelang di surat kabar sebanyak dua kali dengan selang waktu 15 hari.
  1. 3. Pelaksanaan Lelang.
Setelah sampai pada hari yang ditentukan maka Pengadilan Negeri atas bantuan Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan didepan umum atas barang-barang yang disita. Pelaksanaan pelelangan dilakukan di Pengadilan Negeri dan oleh Pejabat Kantor Lelang yang ditunjuk. Hasil lelang yang diperoleh akan dipergunakan untuk memenuhi seluruh hak Pemohon sesuai dengan isi Putusan Pengadilan. Dengan pemenuhan isi Putusan tersebut maka perkara dianggap telah selesai.
PENYELESAIAN KASUS PIDANA PERBURUHAN
Apabila kita cermati UU No. 13 Tahun 2003 ada beberapa pasal dalam UU tersebut yang memuat sanksi bagi para pihak yang tidak mentaati isi pasal-pasal tersebut. Sanksi-sanksi tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 merupakan tindak pidana yang berupa kejahatan dan pelanggaran. Sanksi dimaksud dapat berupa pidana penjara dan denda (diatur dalam Pasal 183 s/d Pasal 189) dan sanksi administratif (diatur dalam Pasal 190). Terhadap tindak pidana tersebut diatas merupakan tindak pidana murni (bukan tindak pidana pengaduan), artinya : tindak pidana yang penanganannya harus dilakukan oleh yang berwajib meskipun tidak ada pengaduan dari korban (buruh). Tindak pidana ini sangat berkaitan dengan kewajiban hukum setiap orang untuk melaporkan setiap tindak pidana yang dia ketahui kepada yang berwajib.
Proses yang dapat ditempuh oleh buruh apabila Pengusaha melakukan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran dalam hubungann industrial adalah :
a. Membuat pengaduan.
Mengingat seluruh tindak pidana yang disebutkan diatas tergolong tindak pidana bukan aduan maka sudah seharusnya Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan mempunyai kewajiban untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana yang terjadi sekalipun tidak ada pengaduan. Dalam praktek ada kalanya Pegawai Pengawas tidak mengetahui adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pengusaha atau ada yang mengetahui tetapi karena satu dan lain hal maka Pegawai Pengawas tersebut tidak melakukan penyidikan.
Agar terhadap suatu kejahatan dapat dilakukan penuntutan maka pihak yang dirugikan harus bersifat proaktif. Buruh harus membuat laporan atau pengaduan kepada Pegawai Pengawas, menguraikan kejahatan yang terjadi dan bila memungkinkan menunjukkan pasal-pasal yang dilanggar, melampirkan bukti-bukti pelanggaran dan hal-hal yang berkaitan lainnya.
Di bagian Pengawas Disnaker, Pelapor harus datang langsung untuk membuat pengaduan, mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi. Atas pengaduan tersebut Pegawai Pengawas membuat Berita Acara Pemeriksaan baik terhadap Pelapor, saksi-saksi maupun Terlapor.
b. Pra peradilan.
Apabila Pegawai Pengawas karena satu dan lain hal menghentikan proses penanganan perkara (penghentian penyidikan) padahal bukti-bukti dan saksi-saksi menguatkan bahwa Pengusaha telah melakukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran terhadap beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 maka buruh dapat melakukan upaya hukum melakukan Gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri terhadap Pegawai Pengawas tersebut diatas dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP. Upaya pra peradilan adalah upaya yang dilakukan untuk melawan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan atau penghentian penyidikan atas suatu perkara. Apabila Putusan Hakim menyatakan penghentian penyidikan tidak sah maka Pegawai Pengawas wajib melanjutkan penyidikan atas perkara tersebut. Sarana pra peradilan disediakan untuk mengontrol Pegawai Pengawas sebagai Penyidik dalam melaksanakan tugasnya.
  1. c. Proses penuntutan dan persidangan.
Dalam hal suatu perkara pidana telah selesai disidik oleh Pegawai Pengawas, maka berkas perkara segera dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Bila berkas oleh Jaksa dinilai kurang sempurna maka berkas dikembalikan kepada Pegawai Pengawas untuk dilengkapai berdasarkan petunjuk Jaksa.
Setelah berkas dianggap sempurna dan mempunyai dasar untuk dituntut maka Jaksa segera membuat Surat Dakwaan untuk dilimpahkan ke Pengadilan dengan permintaan agar perkara tersebut segera diadili.
Setelah Majelis Hakim menentukan hari persidangan maka Jaksa menyampaikan Surat Panggilan kepada Terdakwa untuk memuat hari, tanggal dan jam untuk penyidangan perkara Terdakwa.
Proses persidangan terdiri dari :
  1. 1. Pembacaan Dakwaan.
Proses pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai dengan pembacaan Dakwaan oleh Jaksa. Dakwaan memuat keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa beserta ketentuan/pasal yang dilanggar akibat perbuatan tersebut.
  1. 2. Pemeriksaan Saksi.
Yang dapat diperiksa sebagai Saksi adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Sebelum memberikan keterangan Saksi terlebih dahulu disumpah/berjanji menurut agamanya untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sesungguhnya.
  1. 3. Pengajuan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan Jawaban.
Apabila Majelis Hakim menganggap pemeriksaan Saksi telah selesai maka Jaksa diberikan kesempatan untuk mengajukan Tuntutan yang berisi tentang jumlah hukuman yang dimintakan oleh Jaksa kepada Majelis Hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa. Dalam menentukan tuntutannya Jaksa juga memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang meringankan dan memberatkan Terdakwa.
Atas Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa, Terdakwa/Kuasa Hukumnya diberi kesempatan untuk mengajukan Pembelaan, yang biasanya dilakukan secara tertulis, yang berisikan hal-hal yang menunjukkan ketidakbersalahan atau yang meringankan Terdakwa, dirumuskan berdasarkan fakta-fakta di persidangan, keterangan saksi-saksi, alat-alat bukti dan hal-hal yang meringankan/membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan.
Tujuan akhir dari suatu pembelaan adalah untuk melemahkan Tuntutan Jaksa sehingga Terdakwa dapat dibebaskan dari segala tuntutan.
Terhadap Pembelaan ini Jaksa masih diberi kesempatan untuk memberikan Jawaban yang bertujuan untuk memperkuat Tuntutannya dengan berusaha membantah alasan-alasan yang diajukan Terdakwa dalam Pembelaannya dan tetap mempertahankan bahwa Terdakwa telah bersalah.
  1. 4. Pembacaan Putusan.
Apabila semua proses diatas telah selesai maka Majelis Hakim akan bermusyawarah untuk menentukan Putusan yang akan diambil atas perkara yang bersangkutab, yang didasarkan atas Surat Dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan.
Setelah Majelis Hakim bermusyawarah maka Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Baik Terdakwa maupun Jaksa berhak untuk mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi apabila merasa tidak puas terhadap Putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari setelah pembacaan Putusan.