Hari ini, kita berada di hari ke-tujuh di bulan Mei. 7 hari berlalu  sejak tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh Internasional,  atau yang dikenal dengan sebutan May Day. Seperti halnya kemarin, 1 Mei  di tahun 2011 ini hanya akan menjadi masa lalu. Dan memang, ia sudah  berlalu.
Sebagai masa lalu, peringatan may day tahun ini bukannya tak memiliki  arti apa-apa. Apalagi jika kita bisa menjadikannya sebagai titik tumpu  untuk lompatan menuju masa depan. Sebagai tonggak perlawanan, peneguh  perjuangan. Ini hanya akan terwujud, jika may day tidak hanya dimaknai  sebagai sebuah seremonial.
Buat saya, May Day kali ini terasa bedanya. Bukan sekedar rute aksi  yang lain dari biasanya: HI – Istana – HI. Tetapi sekaligus menjadi  pembeda, mana-mana aktivis buruh yang konsisten atas perjuangannya, dan  mana aktivis buruh – yang sebagian kawan menyebut – masuk angin.
Ini adalah hari buruh. Maka kita bisa mengajukan pertanyaan kritis,  sejauh mana buruh menjadikan momentum ini untuk memaknai kembali  perjuangannya? Untuk mendesakkan beragam tuntutan, yang secara langsung  berkaitan erat dengan nasib kaum buruh. Dan memang, begitulah sejarah  may day bermula. Tengoklah bagaimana pada tanggal 1 Mei tahun 1886, saat  sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi  besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam  sehari, yang berujung tewasnya ratusan demonstran karena diberondong  peluru tajam aparat keamanan. Dengan kata lain, kita bisa berkesimpulan,  may day yang diperingati dengan hiburan merupakan kecelakaan sejarah. 
Sejak aksi fenomenal di Jakarta pada hari Minggu lalu, saya selalu  tergelitik untuk mengetahui lebih, sejauh mana sebenarnya serikat buruh  hari ini memaknai perjuangannya. Berbicara tentang gerakan serikat  buruh, terasa kurang pas jika tidak menyebut Komite Aksi Jaminan Sosial  (KAJS). Ya, KAJS. Yang disebut-sebut sebagai laboratorium gerakan sosial  dan politik bagi serikat pekerja/serikat buruh.
Mengapa KAJS? Sebab rasa-rasanya, KAJS membantah mitos bahwa buruh  sulit untuk diajak bersatu. Saya sependapat, KAJS sendiri tidaklah  sempurna. Banyak kelemahan yang ada. Namun, satu hal yang mesti dicatat,  sebelum ini kita sulit menemukan sebuah aliansi yang terdiri dari 65  lebih elemen yang begitu konsisten dan tetap solid memperjuangkan sebuah  isu, Jaminan Sosial. Ada banyak isu dalam dunia perburuhan, akan tetapi  KAJS tidak bergeming. Jaminan Sosial adalah Harga Mati. Berlakukan,  atau SBY turun.
Puncaknya adalah May Day yang menggetarkan, 1 Mei kemarin. Saat  element KAJS melakukan rapat akbar, memenuhi jalanan HI – Istana. Saat  kemudian banyak mata terbuka, akan betapa pentingnya SJSN dijalankan.  Bahwa sesungguhnya, ini bukan untuk pekerja/buruh semata. Tetapi untuk  seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin, aksi yang dilakukan KAJS sudah biasa. Karena memang sudah  puluhan kali dilakukan. Tetapi yang menarik disini, pada 3 Mei,  kawan-kawan KSPSI juga turun jalan dengan tuntutan yang sama. Seperti  disampaikan Andi Gani Nuwa Wea, KSPSI juga siap bergabung dalam aksi 9  Mei 2011 di DPR RI. Andi juga memastikan, tahun depan, KSPSI akan  melakukan aksi turun jalan pada tanggal 1 Mei.  Bagi saya, fenomena ini  bisa dibaca, bahwa KAJS menjadi magnet yang mampu menarik organ-organ  lain untuk melakukan perjuangan bersama.
Pernyataan Andi disampaikan pada hari Rabu kemarin, dalam Seminar  yang diselenggarakan TURC di Gedung Joang 45, Menteng. Seminar yang juga  dimaksudkan sebagai refleksi atas peringatan May Day ini, mengambil  tema ”Tuntutan Reformasi Jaminan Sosial: Transformasi Gerakan Buruh  Menuju Gerakan Sosial dan Politik?”  
Kita sudah menemukan momentum, dan semoga, apa yang disebut sebagai  transformasi gerakan buruh menuju gerakan sosial dan politik memang  benar adanya.